20081223

Sebuah Prolog Tentang Cinta

Rabi’ah Al-’Adawiyah berkata, “Cinta ialah sesuatu yg terjaga, dan untuk mendapatkannya haruslah dengan cara yg terjaga.”

Ar-Rumi mengatakan, “Hanya karena cintalah dunia sanggup berputar.

Gibran berpendapat, “Cinta tak memberikan apa-apa, kecuali keseluruhan dirinya. Utuh penuh. Pun tak mengambil apa-apa kecuali dari dirinya sendiri.

Sepertinya perbincangan tentang tema ini tidak akan pernah habis. Sampai kapan pun. Sepertinya orang tidak akan pernah bosan membicarakannya. Meski mulut berbusa, pun suara dibuat parau karena hal tersebut. Tetap saja, orang akan membicarakannya. Mulai dari orang awam dengan kesederhanaan tata bahasanya hingga pujangga dengan tutur katanya yg indah.

Hampir setiap orang memiliki definisi dan pemahaman sendiri-sendiri tentang makna kata yg satu ini, sesuai dengan pengalaman hati dan tingkat intelektualitasnya masing-masing. Tapi yg pasti, setiap zaman, setiap masa, perbincangan tentang tema ini tidak akan pernah habis.

Dan entah berapa banyak sudah, tinta yg dihabiskan oleh para penulis untuk membahas tentang tema yg satu ini, mulai dari yg pemula sampai yg berkelas, bahkan dengan keragaman bentuk tulisan yg mereka buat. Novel, puisi, cerpen, essay, dan lain sebagainya.

Tentang cinta. Sebuah kata yg sangat magis, membius, memabukkan,……… dan entah kata apa lagi yg bisa menggambarkan kekuatannya. Mungkin cinta dapat dikenali dengan tandanya yg paling sederhana, yakni datangnya perasaan senang saat sesuatu berada di dekat kita, dan sebaliknya, apabila sesuatu tersebut berada jauh maka kita merasa sedih. Apapun itu. Bisa wanita, tahta, kebesaran, ataupun harta.

Cinta memang sesuatu yg fitrah bagi manusia. Setiap diri memiliki keinginan untuk dicintai, pun mencintai. Tapi sayangnya banyak orang berbicara, menulis, dan berpendapat mengenai cinta padahal mereka tidak paham tentang makna cinta itu sendiri. Bahkan tidak sedikit yg menganggap bahwa keinginan untuk memiliki adalah serupa dengan cinta. Padahal keduanya tidaklah sama, bahkan jauh berbeda, sebagaimana ditulis oleh Habiburrahman El-Shirazy di dalam ‘Ayat-Ayat Cinta’.

Kami katakan, bahwa cinta ialah sebuah fitrah yg kan tumbuh dengan baik, dari hati yg terjaga dari segala kerendahan dan kehinaan. Dan seseorang akan paham tentang makna ini, manakala ia mulai belajar untuk mengabdikan dirinya,_ sebagai perwujudan tertinggi dari cinta_ , kepada Sang Pemilik Cinta. Yg mana cinta-Nya meliputi seluruh alam semesta. Inilah yg harus ada dalam setiap diri orang yg merasa dirinya beriman. Dan itu semua membutuhkan pembuktian. Tidak sekedar pengakuan.

Hari ini, apabila kita menyatakan rasa cinta kepada seorang gadis, misalnya. Maka sudah barang tentu si gadis akan menuntut sebuah sikap yg menunjukkan kebenaran kata yg telah kita ucapkan tadi. Dan dia pun akan memberikan syarat-syarat tertentu, sebagai tolok ukur atas kesungguhan cinta kita. Karena bisa jadi, apa yg kita ucapkan itu dusta.

Begitupun Sang Pemilik Cinta, Dia menginginkan bukti dan aplikasi apabila kita mengaku mencintai-Nya. Caranya? Inilah yg hendak kita mudzakarahkan bersama dalam forum ini. Namun, sebelum kita membahas lebih jauh tentang perkara ini, terlebih dahulu kami akan menyajikan pembahasan Al-Hafizh Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah tentang makna kata al-mahabbah, yg mana merupakan istilah yg paling sering digunakan para pakar dalam membahas tema ini.

Makna kata ini asalnya adalah bening dan bersih. Di kalangan bangsa arab, istilah ini juga dipakai untuk menyebut gigi yg putih. Ada pendapat lain yg diambil dari kata al-habbab, yaitu air yg meluap setelah turun hujan yg lebat. Dari sini dapat diartikan bahwa al-mahabbah adalah luapan hati dan gejolaknya saat dirundung keinginan untuk bertemu dengan sang kekasih.

Ada pula yg mengartikannya tenag dan teguh, seperti unta yg tenang tidak mau bangun lagi setelah menderum. Jadi, seakan-akan orang yg mencinta itu telah mantap hatinya terhadap yg dicinta dan tidak terbetik untuk beralih darinya. Tapi justru ada yg mengartikan sebaliknya, yaitu gundah dan tidak tetap. Itulah sebabnya dalam bahasa arab, anting-anting disebut dengan kata hiba, karena ia tidak pernah diam dan tetap berada di telinga.

Ada pula yg berpendapat bahwa kata al-mahabbah berasal dari kata al-habbu, artinya inti sesuatu, biji tanaman atau pepohonan dan asal muasalnya.

Dan adapun mengenai batasan makna kata al-mahabbah, ada banyak orang berpendapat tentangnya. Ada yg berpendapat, artinya adalah kecendrungan secara terus menerus dengan disertai hati yg meluap-luap. Ada yg berpendapat, artinya menuruti keinginan yg dicintai baik dengan terang-ternagan ataupun sembunyi-sembunyi.

Dan sebagian lagi berpendapat, artinya menjaga batas. Jadi tidak benar orang yg mengaku mencintai namun dia melanggar batas. Ada yg berpendapat, artinya bara yg membakar hati karena keinginan yg dicintai. Ada pula yg berpendapat, artinya mengingat kekasih sebanyak nafas yg berhembus. Namun ada yg berpendapat, artinya yg hakiki adalah menyerahkan apapun yg ada pada dirimu kepada yg dicintai.

Setelah mengetahui definisi dan makna cinta dari berbagai macam pendapat, maka kini, kami akan membagi-bagi jiwa berdasarkan apa-apa yg dicintainya. Berkaitan dengan perkara ini jiwa manusia dapat dibagi ke dalam dua kelompok besar, yakni :


  1. Jiwa samawy yg tinggi. Hal-hal yg dicintai jenis jiwa ini adalah masalah-masalah yg berkaitan dengan pengetahuan yg akan menghantarkannya kepada Rabb-nya, mencari keutamaan dan kesempurnaan yg memungkinkan bagi manusia serta menjauhi kehinaan. Jiwa ini menyenangi apa-apa yg mendekatkannya kepada Kekasih Yg Maha Tinggi. Itulah makanan, santapan, dan obat bagi jenis jiwa ini. Kesibukannya pada hal-hal selain itu merupakan sumber penyakit baginya.
  2. Jiwa binatang yg rendah. Jiwa seperti ini kesenangannya adalah hal-hal yg condong kepada makanan, minuman, dan persetubuhan. Kecintaannya adalah perbuatan yg menjurus kepada pemaksaan, kesewenang-wenangan, membanggakan diri di dunia, takabbur, menggapai kedudukan dengan cara yg bathil. Inilah kenikmatan dan kesenangan yg direguknya.

Cinta di dunia ini berputar-putar di antara kedua jenis jiwa di atas. Jiwa yg mendapatkan apa-apa yg dirasa cocok dengan tabiatnya, maka itulah yg akan dianggap terbaik baginya. Dia tidak akan peduli cercaan dan makian yg dialamatkan kepadanya. Kedua jenis jiwa di atas melihat bahwa apa yg ada di tangannya itulah yg harus dinomorsatukan. Cenderung kepada hal lain dan menyibukkan diri di dalamnya dianggap ketololan dan perbuatan yg menyia-nyiakan bagian yg semestinya dia dapatkan.

Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar